Selasa, 12 Oktober 2010

Tinggal bersama mertua adalah pilihan


 Saya hendak menegaskan, tinggal bersama mertua adalah pilihan.
Saya pernah dinasehati oleh seorang tokoh politik Islam. Beliau bilang, bagi seseorang yang sudah menikah, maka diutamakan untuk tinggal bersama pasangan, dan memisah dengan orang tua atau mertua, kecuali satu hal, mertua tidak mampu secara fisik untuk tinggal sendiri, dan untuk kegiatan sehari-harinya harus dilayani orang lain. Hanya itu alasannya.

Ini bisa menjadi mudah atau sulit, tergantung yang menjalankan.
Bagi saya, tinggal bersama mertua menjadi pilihan, meski mertua saya masih sehat dan bisa beraktivitas.
Tentu saja, ada sejumlah alasan yang membuat saya melakukannya. Pertama, alasan klise, kami belum punya rumah sendiri. Suami dan saya sedang dalam proses membangun sebuah rumah untuk kami. Rumah itu terletak di sebelah rumah mertua saya. Hal itu sesuai pembagian warisan keluarga suami saya.
Rumah itu mulai dibangun beberapa bulan setelah kami menikah. Kami bukan pasangan mapan tetapi sama-sama berpenghasilan pas-pasan dan setelah menikah baru kami berusaha mengumpulkan uang bersama untuk membangun rumah. Setiap ada uang sedikit, kami melakukan penambahan untuk rumah itu
Hingga satu tahun setelah kami menikah, rumah itu baru 50%. Sudah ada dinding dan atap, tanpa jendela dan pintu. Nah, prinsip kami, daripada uang Rp 1- 5 juta untuk kontrak rumah, lebih baik kami alokasikan untuk menambah pembangunan rumah kami. Dengan konsekuensi, kami tinggal dahulu bersama mertua.
Alasan kedua, rumah mertua saya bisa dikatakan besar, dengan enam kamar dan sejumlah ruangan lain. Jadi, dihuni beberapa keluargapun tidak akan terasa sesak dan semua bisa beraktivitas dengan nyaman menggunakan ruang-ruang yang ada.
Ketiga, saya adalah perempuan bekerja, sehingga saya di siang hari, waktu banyak saya habiskan di luar rumah. Dengan kondisi ini, interaksi saya dengan mertua tidak terjadi seharian penuh sehingga mengurangi timbulnya konflik.
Pengalaman sejumlah teman saya, menantu perempuan yang tidak bekerja dan tinggal bersama mertua lebih sering terjadi konflik daripada menantu perempuan yang bekerja.
Yang saya alami, di siang hari, saya sibuk dengan pekerjaan sehingga ketika pulang ke rumah, sudah dalam kondisi lelah fisik dan lelah pikiran, sehingga mengurangi ruang untuk memikirkan hal tentang mertua. (meski dalam prakteknya, saya juga sering terganggu dengan pikiran-pikiran tentang sikap mertua).

Itu saja alasan saya.

Tentu saja, setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Tapi hal itu akan saya tulis dalam posting lain nanti.
Terima kasih sudah membaca.